قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ وَرَّخَ مُسْلِمًا فَكَأَ نَّمَا اَحْيَاهُ وَمَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَ نَّمَا
زَارَنِى وَمَنْ زَارَنِى بَعْدَ وَفَاتِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى. روه ابو داود
وترمذى
“Barang siapa
membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan
barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi
SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya
mendapat syafatku di Hari Qiyamat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
KH.
ABU KHAMID BIN KH. MUHAMMAD SAMI’UN
PENGASUH PONDOK PESANTREN AL-IKHSAN
ULAMA KHARISMATIK BANYUMAS
PENGASUH PONDOK PESANTREN AL-IKHSAN
ULAMA KHARISMATIK BANYUMAS
Bercerita
tentang K.H. Abu Khamid tak lepas dari sosok K.H. Muhammad Sami’un yaitu ayah
beliau yang hidup semasa penjajahan belanda. Ayah beliau mengenyam pendidikan
di bangku HIS (sekolah dasar pada zaman penjajahan belanda) dan MULO (sekolah
menengah pertama pada masa penjajahan belanda). Ilmu agama K.H. Muhammad
Sami’un diperolehnya dari Kiai Imam Tabri Kauman, Selepas dari sekolah MULO,
Sami’un muda bekerja di pemerintah belanda, menangani proyek pembuatan jalur
kereta api jurusan Purwokerto-Jakarta.
Berbekal
tabungan gaji semasa kerja, ahirnya beliau menjalani kehidupan baru sebagai
seorang santri, pondok yang dituju pertama kali adalah Pesantren Lirap Kebumen
yang dikenal sebagai pondok alat (Nahwu-Shorof). dipesantren ini sami’[un muda
berguru kepada Syeh Ibrahim Nuruddin selama dua tahun (1911-1913 ) .Beliau
berhasil menghafalkan kitab Jurumiyah,Imrity,Alfiyah dalam tempo tiga bulan.Selepas
dari Lirap beliau melanjutkan ke pesantren Termas untuk berguru kepada
K.H.Dimyati (1914-1924) selama di Termas, beliau menyempatkan mengaji kitab
Ihya’ Ulumaddien pada K.H Abdulloh bin Abdul Mutollib Kendal.
Pergi
ke Tanah Suci merupakan tekad beliau yang ingin segera diwujudkan pada waktu
itu, namun karena berbagai kendala, lantas ia melamar sebagai Juru Bahasa pada
kapal-kapal yang masuk ke Serawak-Malaysia. Hasil tes wawancara tersebut
mensyaratkan, ia akan diterima bekerja jika sudah berkeluarga.Tak
menyia-nyiakan kesemppatan, beliau segera kembali ke kampong halamanya dan
memboyong sang istri Nyai.Sartinah (Ibu dari K.H.Abu Khamid) Ke Serawak.
Lima
Tahun lamanya pasangan K.H.M.Sami’un dan Nyai.Sartinah tinggal di negeri Jiran
(1925-1930) dan pada tanggal 13 Maret 1929 mereka dikaruniai momongan putra
pertamanya yaitu Abu Khamid di Serawak, Malaysia (K.H.Abu Khamid Bin
K.H.M.Sami’un Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji). Sepuluh Tahun lamanya K.H.M.Sami’un
mengajar di Sokanegara sampai dengan Hijrah ke Parakan Onje dan merintis sebuah
Pondok Pesantren yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren Ath-thohiriyah pada
Tahun 1940 sampai dengan ahir hayatnya pada tanggal 23 Ramadhan (31 Oktober
1972) Hal yang masih terus dikenang selain kedalaman ilmu beliau adalah
kefasihanya berbahasa asing terutama Bahasa Inggris,Belanda, dan Arab. Beliau
dikenal sebagai sosok yang andap asor dan beliau lebih suka mengajar santrinya
dengan menggunakan bahasa jawa, dari karya beliau yang ditulis dengan bahasa
Arab seperti “Lubabuz Zaad, Aqoid, Terjemah Yasin, Terjemah Do’a Sholat “
KH. ABU
KHAMID
Beliau
lahir pada Tanggal 13 Maret 1929 Serawak-Malaysia. beliau adalah putra pertama dari
K.H. Muhammad Sami’un dan Ibu.Nyai Sartinah. Beliau berasal dari keluarga ulama
dan digembleng langsung oleh ayah beliau dari segi pendidikan agamanya sampai
beliau menghatamkan dan menghafalkan beberapa kitab Tata Bahasa Arab seperti
kitab (Al-Jurumiyah, Al-‘Imrity, Tasrif ‘Izy, Maqsud, dan Alfiyah Ibnu Malik) ,
menginjak dewasa beliau melanjutkan perjalananya dalam bertholabul ‘Ilmi yang
dituju beliau sebagai guru adalah beliau Simbah K.H.Muhammad Nuh di Pageraji,
Cilongok. Setelah beberapa lama berguru di pondok pesantren Darul Hikmah yang
diasuh oleh Mbah Nuh ini, beliau melanjutkan perjalanan tolabul ilminya di
Randegan, leler, Banyumas yang waktu itu berguru kepada K.H.Hisyam Zuhdi yang
sekarang dikenal Pondok Attaujieh yang diasuh oleh K.H.Zuhrul Anam. Setelah
belajar di leler kehausan beliau terhadap ilmu pengetahuan belumlah terobati
sehingga beliau melanjutkan perjalanan pencarian ilmunya ke pondok Bendo – Pare
– Kediri, semenjak di pondok pun beliau sudah berkiprah untuk santri – santri
dipondok tersebut karena beliau bertugas menjadi “juru pengambil wesel” bagi
para santri sampai dengan menjadi lurah pondok dan membangun pondok komplek
purwokerto di pondok bendo, Sekitar delapan tahun lamanya beliau di Kediri
menimba ilmu ahirnya beliau kembali ke kampung halamanya yang kemudian beliau
memperistri “Ibu.Nyai.Fathonah Binti K.H.M.Ikhsan Beji” seteah menikah beliau
tinggal di Desa Beji, setelah pernikahanya beliau dikaruniai seorang putra yang
diberi nama “Syarif Hidayatulloh”.Seiring berjalanya waktu santri dari
masyarakat sekitar berdatangan ingin menimba ilmu kepada beliau kemudian
setelah mukimnya Gus Syarif beliau mendirikan pondok pesantren yang diberi nama
“AL-IKHSAN” yang pada waktu itu hanya membangun dua kamar “Kamar A1 dan A2”.
bersama putranya (Gus Syarif) beliau berjuang untuk memajukan pesantren dengan
terobosan baru di dunia pesantren yaitu dengan adanya program dwi bahasa di
pondok pesantren Al-Ikhsan.